Rabu, 27 Maret 2013

Goresan #41


Ini adalah tentang ukhuwah. Hari aku belajar tentang itu. Bahwa ternyata ukhuwah adalah barang yang mahal. Tak ternilai oleh materi. Ukhuwah, mengikatkan hati yang satu dengan hati yang lain. Ya, memang. Ini adalah perkara ikatan hati. Tak hanya sekedar ikatan fisik. Aku jadi teringat tentang doa yang senantiasa terlantunkan di larik-larik dzikir al-ma’tsurot tiap pagi maupun petang. Doa untuk menguatkan ikatan hati yang satu dengan hai-hati yang lain.
“Allohumma innaka ta’lamu annahadihil qulub. Qodijtama’at ala mahabbatik. Wal taqot ‘ala to’atik. Watawahhadat ‘ala da’watik. Wata’ahadat ‘alanushroti syari’atik. Fawatstsiqillahumma robitotaha. Waadim wuddaha wahdiha subulaha wamlakhabinurikalladzi la yahbu wasyhrohsuduroha bifaidzil imanibik wajamilittawakkuili ‘alaik. Waahyiha bima’rifatik waamitha ‘alasysyahadati fisabilik. Innaka ni’mal maula wani’mannashir.”
Ya Alloh, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepadaMu, bertemu untuk taat kepadaMu, bersatu dalam rangka menyeru dakwah di jalanMu dan berjanji setia untuk membela syariatMu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya ya Alloh, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya, dan penuhilah dengan cahayaMu yang tidak akan pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakkal kepadaMu, hidupkanlah dengan ma’rifahMu, dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalanMu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.
Ya begitulah, ini adalah perkara ikatan hati. Ukhuwah sesama saudara seakidah. Karenanya ada hak-hak yang perlu ditunaikan di sana. Dan terkadang, hak itu khilaf untuk ditunaikan. Bukan apa-apa, memang karena masing-masing punya egoisme ghirah amanah. Egoisme itu bukan satu hal yang salah. Bukan. Hanya saja di tengah-tengah aktivitas yang begitu luar biasa itu, luangkanlah  meskipun hanya satu jam dua jam untuk itu. Menunaikan hak ukhuwah.

***
“Aku mau curry rice.”
“Aku chicken ramen. “
“V- ramen”
“Waah, burry-burry ramen kayaknya enak. Aku mau itu”
“Aku juga deh, burry-bury ramen.”
“Chili chicken ramen satu.”
“Udah ada 6 menu. Oya aku, belum. Apa ya? Curry rice juga boleh.”
           
Beginilah suasana ukhuwah yang langka kami rasakan. Jarak dan waktu yang kemudian memisahkan kami. Tempat kuliah juga berbeda. Pun dengan seabrek amanah kami masing-masing. Sehingga begitu jarang intesitas kami untuk bertemu. Mungkin hanya beberapa saja yang sering bertemu. Karena memang mereka berada di amanah yang sama. Atau karena memang karena satu dengan satunya adalah “soulmate”. Tapi kesimpulannya, momen seperti ini adalah momen langka.
“Oya, ini minumnya apa?” “Es teh?”
Semua dari kami bertujuh memilih menu minuman es teh. Bahasa kerennya di list menu itu adalah “Ti Kun”. Ya,kami memilih itu. Entah alasan apa yang kemudian melatar belakangi mereka untuk memilih menu minuman itu. Tapi bagiku, aku memilih menu “Ti Kun”, ya karena itu satu-satunya minuman paling murah di sana. 2,500 rupiah satu gelas. Memang, harga yang lumayan umum. Apalagi di tempat makan yang lumayan berkelas ini. Warung mie ramen, warung makanan khas Jepang.
Setelah hampir satu jam kami mengendarai motor, melaju dengan kecepatan kurang lebih 50-60 km/jam, akhirnya motor kami menuju ke sini. Warung mie ramen. Ya, ini adalah kali pertama aku makan di tempat ini dan mencicip menu ini, menu mie ramen. Di tempat ini kami melihat mangkuk-mangku dan piring-piring raksasa mampir tepat di hadapan para pengunjung. Ditambah dengan gelas bening berukuran besar. Lengkap sudah. Yang terbayang dalam pikiran kami adalah perut kami akan segera kenyang setelah melahap semua isi piring, mangkuk, dan gelas itu.
Ya, sedari pagi kami berangkat, beberapa dari kami belum mencicip sarapan pagi sama sekali. Pagi ini, tepat jam 10 kami janjian untuk kumpul di maskam, masjid kampus UGM. Hari ini adalah hari special bagi teman kami. Hari di mana toga akan dipakai dan gelar sarjana akan di sandang. Ya, hari ini adalah hari wisuda saudara kami, Sita.