Ini adalah tentang ukhuwah. Hari
aku belajar tentang itu. Bahwa ternyata ukhuwah adalah barang yang mahal. Tak
ternilai oleh materi. Ukhuwah, mengikatkan hati yang satu dengan hati yang
lain. Ya, memang. Ini adalah perkara ikatan hati. Tak hanya sekedar ikatan
fisik. Aku jadi teringat tentang doa yang senantiasa terlantunkan di
larik-larik dzikir al-ma’tsurot tiap pagi maupun petang. Doa untuk menguatkan
ikatan hati yang satu dengan hai-hati yang lain.
“Allohumma innaka ta’lamu annahadihil qulub. Qodijtama’at ala
mahabbatik. Wal taqot ‘ala to’atik. Watawahhadat ‘ala da’watik. Wata’ahadat
‘alanushroti syari’atik. Fawatstsiqillahumma robitotaha. Waadim wuddaha wahdiha
subulaha wamlakhabinurikalladzi la yahbu wasyhrohsuduroha bifaidzil imanibik
wajamilittawakkuili ‘alaik. Waahyiha bima’rifatik waamitha ‘alasysyahadati
fisabilik. Innaka ni’mal maula wani’mannashir.”
Ya Alloh, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah
berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepadaMu, bertemu untuk taat
kepadaMu, bersatu dalam rangka menyeru dakwah di jalanMu dan berjanji setia
untuk membela syariatMu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya ya Alloh,
abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya, dan penuhilah dengan
cahayaMu yang tidak akan pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan
iman dan keindahan tawakkal kepadaMu, hidupkanlah dengan ma’rifahMu, dan
matikanlah dalam keadaan syahid di jalanMu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik
pelindung dan sebaik-baik penolong.
Ya begitulah, ini adalah perkara
ikatan hati. Ukhuwah sesama saudara seakidah. Karenanya ada hak-hak yang perlu
ditunaikan di sana. Dan terkadang, hak itu khilaf untuk ditunaikan. Bukan
apa-apa, memang karena masing-masing punya egoisme ghirah amanah. Egoisme itu
bukan satu hal yang salah. Bukan. Hanya saja di tengah-tengah aktivitas yang
begitu luar biasa itu, luangkanlah
meskipun hanya satu jam dua jam untuk itu. Menunaikan hak ukhuwah.
***
“Aku mau curry rice.”
“Aku chicken ramen. “
“V- ramen”
“Waah, burry-burry ramen kayaknya
enak. Aku mau itu”
“Aku juga deh, burry-bury ramen.”
“Chili chicken ramen satu.”
“Udah ada 6 menu. Oya aku, belum.
Apa ya? Curry rice juga boleh.”
Beginilah
suasana ukhuwah yang langka kami rasakan. Jarak dan waktu yang kemudian
memisahkan kami. Tempat kuliah juga berbeda. Pun dengan seabrek amanah kami
masing-masing. Sehingga begitu jarang intesitas kami untuk bertemu. Mungkin
hanya beberapa saja yang sering bertemu. Karena memang mereka berada di amanah
yang sama. Atau karena memang karena satu dengan satunya adalah “soulmate”.
Tapi kesimpulannya, momen seperti ini adalah momen langka.
“Oya, ini
minumnya apa?” “Es teh?”
Semua dari kami
bertujuh memilih menu minuman es teh. Bahasa kerennya di list menu itu adalah
“Ti Kun”. Ya,kami memilih itu. Entah alasan apa yang kemudian melatar belakangi
mereka untuk memilih menu minuman itu. Tapi bagiku, aku memilih menu “Ti Kun”,
ya karena itu satu-satunya minuman paling murah di sana. 2,500 rupiah satu
gelas. Memang, harga yang lumayan umum. Apalagi di tempat makan yang lumayan
berkelas ini. Warung mie ramen, warung makanan khas Jepang.
Setelah hampir
satu jam kami mengendarai motor, melaju dengan kecepatan kurang lebih 50-60
km/jam, akhirnya motor kami menuju ke sini. Warung mie ramen. Ya, ini adalah
kali pertama aku makan di tempat ini dan mencicip menu ini, menu mie ramen. Di
tempat ini kami melihat mangkuk-mangku dan piring-piring raksasa mampir tepat
di hadapan para pengunjung. Ditambah dengan gelas bening berukuran besar.
Lengkap sudah. Yang terbayang dalam pikiran kami adalah perut kami akan segera
kenyang setelah melahap semua isi piring, mangkuk, dan gelas itu.
Ya, sedari pagi
kami berangkat, beberapa dari kami belum mencicip sarapan pagi sama sekali.
Pagi ini, tepat jam 10 kami janjian untuk kumpul di maskam, masjid kampus UGM.
Hari ini adalah hari special bagi teman kami. Hari di mana toga akan dipakai
dan gelar sarjana akan di sandang. Ya, hari ini adalah hari wisuda saudara
kami, Sita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar