#11
Alloh swt, Dzat tempat
bergantung satu2nya.. Bukan kepada makhluk! Bukan...
Sehingga pun ketika kita ingin
mengeluh, mengadu, meminta solusi.... ya, ke Alloh saja. Dia Yang Menghendaki
apa-apa yang terjadi pada diri kita, Dia Yang Mengirimkan "masalah",
"ujian" pada kita... Pasti Dia juga yang memiliki solusi.
Justru seringkali rasa sebal
itu hadir ketika kita berharap pada makhluk. Berharap agar si dia bisa
membantuku, agar si dia bisa selalu membersamaiku. Tapi ketika kenyataan itu
seringkali tak sejalan dengan harapan kita. Dan pada akhirnya, kita tahu
hakikatnya. Bahwa memang kita tak boleh terlalu berharap pada makhluk. Ada Dia
yang sebenarnya menanti pengharapan kita.
(16:12)
#12
Belajar keikhlasan itu butuh
proses...
Gak bisa sekejap begitu saja,,,
Tapi bukan berarti gak bisa,,
tetap optimis, pasti bisa
deh...
Ya, dunia itu hanya sementara;
tak sampai terhitung satu hari di akhirat. Ketika ini menjadi sudut pandang,
mungkin keikhlasan itu akan mulai bersemi pelan, bertahap...
(17 :52)
#13
Berkontribusi dengan apa yang
kita punya, apa yang kita bisa, apa yang kita merasa mampu, apa yang ingin kita
lakukan.Tak usah pada titik memaksa diri melakukan sesuatu yang tak ingin dan
tak bisa kita lakukan,kecuali kita memang ingin belajar untuk bisa melakukan
itu. Kembali kepada “passion” kita, untuk berkontribusi. “Passion”, hal yang
memang kita suka, memang kita bisa,,
(16:13)
#14
Alangkah indahnya, ketika diri
ini selalu meniatkan akhirat untuk semua hal. Tak ada prasangka; semuanya
lillah. Menjalaninya dengan penuh kesyukuran; tanpa beban. Tapi terlalu sering
keimanan berada pada puncak bawah kurva. Iman melemah. #Astaghfirulloh
(16:13)
#15
Sabar. Sabar itu butuh
pembelajaran. Cepat itu baik, tapi lama itu bukanberarti tidak baik. Mungkin
membosankan, tapi kalau kau gunakan, akan mematangkan.
(16:13)
#16
Pesan yang aku dapatkan dari
seorang dosen, yang telah menginspirasiku. “Selepas
kalian telah usai dari bangku kuliah, maka mengabdilah untuk pendidikan. Tak
usah kau hiraukan seberapa banyak gaji yang kalian dapatkan. Tapi yakinlah
ketika, niat kalian lurus maka kalian akan dapatkan sesuatu yang lebih.“ Yap, tepat. Toh dunia, bukan
selamanya kan? Alloh swt, rasul, dan orang-orang beriman akan melihat
kesungguhan usaha kita. Tak usah berharap mendapatkan sesuatu yang besar;
dengan ketulusan niat kita insya Alloh, ingin
mengabdi untuk Alloh, maka sesuatu yang besar itu akan datang dengan
sendirinya.
#17
“Melakukan sesuatu dengan
hati. Coba dengarkan apa kata hatimu.” Sebuah kalimat yang sedikit
menohokku. Bahkan tak hanya sedikit, sangat, bahkan. Akhir-akhir ini aku sering
merenungi tentang kehidupan yang selama ini aku jalani. Dan kalimat yang
barusan itu terlontar dari mulut kawanku, dan bagiku kalimat itu cukup
merangkum dari renunganku. Selama ini, aku memang merasa aku seolah tak
menikmati hidup. Aku melakukan ini itu, bukan karena itu memang kata hatiku,
tapi itu lebih karena peluang yang aku ambil dengan kondisiku yang ada padaku
selama ini. Semua-muanya aku lakukan, selama aku sanggup untuk itu. Sehingga
seringkali ketika hatiku menolak, aku tak meresponnya. Aku tetap menjalaninya,
dan berusaha, ya berusaha untuk menyukainya; bukan karena aku memang
menyukainya. Hmm, lagi-lagi belajar tentang kehidupan… cobalah kau dengarkan hatimu
berbicara.
(16:14)
#18
Menjadi sebuah perenungan.
Hakikat kita sebagai manusia. Kenapakah kita diciptakan di dunia. Alloh bilang,
segala sesuatu yang ia ciptakan tak ada yang sia-sia. Termasuk diri kita. Ada
peran-peran yang harusnya kita miliki. Sebagai khalifah fil’ardh itu yang sudah
semestinya. Seperti yang telah Alloh firmankan dalam ayat suci-Nya ketika
berdialog dengan para malaikat. Ketika itu, malaikat begitu merasa khawatir;
“Ya Alloh kenapa Engkau hendak ciptakan makhluk yang akan membuat kerusakan?
Menumpahkan darah?” Lalu Alloh berfirman, “Aku jauh lebih mengetahui akan semua
hal, dan engkau tidak mengetahui.” Ya beginilah, apa yang telah Alloh inginkan
untuk kita. Lalu sudah sejauh manakah peranan kita ketika kita sudah menjalani
putaran waktu hingga detik ini? Ya, perlu kembali bermuhasabah diri. Jangan-jangan
justru banyak kemudharatan yang telah mewarnai aktivitas keseharian kita
dibandingkan dengan hakikat kita seharusnya menjadi manusia.
(5:59)
#19
Penyakit hati itu munculnya
seringkali tak terduga. Tapi kemunculannya itu seringkali tak disadari.
Tau-tau, ia sudah berdomisili di hati. Uh… ini
menyebalkan. Dari penyakit
hatilah, seolah apa-apa yang kita lakukan menjadi sia-sia ; berkurang nilainya.
Coba kau bayangkan, harusnya kita bisa dapatkan nilai 100 untuk satu hal yang
telah kita lakukan. Namun, karena efek penyakit hati bisa jadi nilai itu
menjadi 50, atau bahkan hanya beroleh nilai 0. Kita sudah berlelah-lelah untuk
itu, tapi tak ada yang kita dapatkan. Hanya sebatas nilai dunia. Bukan nilai
akhirat. Uh, penyakit hati ibaratnya noda-noda hitam yang mewarnai putihnya
kain. Aku jadi ingat, satu doa yang selalu kita baca dalam setiap sholat. Doa
iftitah, “Ya Allah,sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagimana
dibersihkan kain putih dari kotoran”. Penyakit
hati memang sudah sepatutnya kita bersihkan. Reorientasi niat, inilah kuncinya.
Pun memperbanyak istighfar dan memaknai sholat kita. Sudahkah kita berada pada
titik itu? Kembali introspeksi…
(06 :10)
#20
Hmmm, berkhusnudzan kepada Alloh, atas apa-apa yang
terjadi pada diri kita. Alloh itu Maha Tahu kok dengan kondisi diri kita.
Yakin, selalu ada hikmah di balik apa yang terjadi dan menimpa diri kita. Tapi,
lagi-lagi, ya memang, awalnya kita mungkin tak menerima, kenapa ini kenapa itu.
Namun, mencoba bersabar atas apa yang menimpa kita; itu jauh lebih mulia. Jadi ingat, bukannya sabar itu
pahalanya adalah surga? "Dan bersabarlah! Sesungguhnya Alloh beserta
orang-orang yang sabar."(QS. Al-Anfal:46)
(06 :15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar