Selasa, 25 Desember 2012

Goresan Pena #33



Hmm, hari yang luar biasa lengkap. Yap hari yang luar biasa karena aku berhasil menjajakan daganganku, siomay jamur tiram sebanyak 17 bungkus. Tak cukup itu saja, moment berharga bertemu dengan dosen pembimbing skripsi awal kali, pun menjadi suatu yang luar biasa untuk hariku. Sebut saja dosen itu, Ibu Tien Amninatun. Dosen muda, cantik, cerdas pula. Dosen ahli lingkungan. Hmm, pantas saja Pak Rahman, kaprodiku merekomendasikan beliau sebagai pembimbing skripsiku. Yap, karena memang skripsiku menyangkut masalah itu. Kudengarkan apa yang beliau tuturkan. Sungguh menarik. Dan bahkan kemudian aku semakin merasa bahagia ketika mendapatkan beliau sebagai dosen pembimbingku karena beliau adalah sosok dosen yang memiliki hobi nulis, traveling. Tulisannya pun termuat di media massa. “Lumayan kalau tulisan bisa termuat di media. Bahkan kemarin 3 tulisan saya masuk di Republika; di rubric jalan-jalan, cerpen, dan rohani. Yang rohani adalah cerita tentang komunitas muslim yang ada di inggris. Kebetulan saya kemarin sempat ke Inggris. Rubrik jalan-jalan itu adalah cerita ketika saya di Karimunjawa. Kemarin alhamdulillah sempat ditransfer 1,1 dari tulisan yang buat. Tulisan saya, saya buat kliping. Saya memang suka cerita. Saya pernah membuat cerpen tentang kisah cinta belalang sembah. Kan kalau belalang sembah itu yang betina akan mematikan jantannya setelah melakukan perkawinan. Dan di situ saya kisahkan bagaimana kemudian terdapat sosok belalang sembah jantan yang siap untuk rela berkorban akan dibunuh oleh belalang sembah betina yang memang dia cintai. Judul cerpennya Bukti Cinta Sang Pejantan”.  Masih banyak cerita yang beliau sampaikan. Dan bagiku, it’s amazing. Aku suka. Dan aku ingin berguru banyak hal kepada beliau. Karena aku pun suka nulis, suka traveling. Ya Alloh, I hope my dream will be get real. Aamiin J (19 Desember 2012)

Goresan Pena #32



Sejujurnya belajar filsafat itu menyenangkan. Asal kita mau memahaminya. Pagi ini aku mendapat menu tentang filsafat natural sains. Bahwa di dalam natural sains, metode yang digunakan adalah metode ilmiah. Metode ilmiah terdapat dua macam; positivistic dan postpositivistik. Kelemahan positivistic adalah (1) sampel terbatas, tapi kemudian ditarik kesimpulan untuk populasi secara keseluruhan (indusctive statistical) (2) Dari segi alat ukur, belum tentu memberikan hasil yang  valid (3) Adanya pengulangan, yang belum tentu memebrikan hasil yang sebenarnya. (18 desember 2012) 

Goresan Pena #31



Pele : Untuk sebuah kemenangan; 1 % adalah latihan, kerja keras. 99 % adalah nasib baik dari Tuhan. (18 Desember 2012)

Goresan pena #30



“Give me 3 philosohic  reasons why I must put you into heaven, not in the hellfire”, said the angel. Kalimat yang terlontar dari dosenku. Hmm, apa ya? #Introspeksi (18 Desember 2012)

Goresan pena #29



Pesan yang aku dapatkan dari seorang dosen, yang telah menginspirasiku. “Selepas kalian telah usai dari bangku kuliah, maka mengabdilah untuk pendidikan. Tak usah kau hiraukan seberapa banyak gaji yang kalian dapatkan. Tapi yakinlah ketika, niat kalian lurus maka kalian akan dapatkan sesuatu yang lebih.“  Yap, tepat. Toh dunia, bukan selamanya kan? Alloh swt, rasul, dan orang-orang beriman akan melihat kesungguhan usaha kita. Tak usah berharap mendapatkan sesuatu yang besar; dengan ketulusan niat kita insya Alloh, ingin mengabdi untuk Alloh, maka sesuatu yang besar itu akan datang dengan sendirinya.  (18 Desember 2012)

Goresan Pena #28



Knowledge itu masuk ke dalam struktur pikiran kita. Kita tak butuh buku ketika memang kita benar-benar sudah memahami tentang ilmu itu. Bahkan apa yang kita sampaikan mengenai ilmu itu tidak persis dengan kata-kata yang tertuang  di dalam buku; tapi kita membuat kata-kata sendiri atas apa yang kita pahami, dengan bahasa kita. Itulah pemahaman kita tentang ilmu; bukan hanya sekadar hafalan mengenai ilmu.” Yap, lagi-lagi kudapatkan pemahaman itu dari apa yang disampaikan oleh dosen filsafatku. Aku bergumam dalam hati mengenai kekerenan yang beliau punya. Bahkan pagi ini, aku pun jadi semakin tahu sedikit hal tentang kekerenan beliau. Bahwa dahulu beliau pun berguru pada seseorang yang memang lua biasa. Ceritanya adalah pada waktu itu beliau menjadi guru di sebuah sekolah SMA. Bahkan beliau bekerja menjadi seirang guru dengan jam kerja hingga lebih dari jam 12 malam. Pasalnya beliau ditunjuk oleh kepala sekolah menjadi salah satu tim inti yang ada di sekolah itu. Bahkan, beliau menjadi orang yang paling muda dalam tim itu. Sampai jam sedemikian beliau bersama temen-temen tim inti yang lain, termasuk dengan kepala sekolahnya melakukan rapat. Entah apa yang dibahas dalam rapat itu; tapi pastunya tentang kelanjutan nasib sekolah ingin dibawa ke mana. Ck, ck, ck. Kepala sekolah yang luar biasa itu, senantiasa mengajak dosenku dan kawan-kawannya untuk menyempatkan sholat tahajjud; entah sebelum rapat atau pasca itu. Huft, aku lagi-lagi berdecak kagum. Tak mengherankan jika kemudian dosenku menjadi orang yang luar biasa, karena pun orang yang menjadi guru beliau pun orang yang luar biasa. Aku berharap, semoga pun aku bisa menjadi seperti mereka. (18 Desember 2012)

Goresan Pena #27



“Kita mungkin sudah menjadi manusia yang berbudaya, tapi bisa jadi kita belum menjadi manusia yang beradab”. Pagi ini aku mendapat konsep tentang kebudayaan dan peradaban. Sebuah rentetan penjelasan yang disampaikan oleh dosen filsafatku. Bahwasanya kebudayaan merupakan hasil karya cipta manusia; seni, tulisan, kepercayaan, alat, pakaian, tarian, dan lain sebagainya. Adapun peradaban merupakan bentuk implementasi dari keilmuan dan teknologi yang dimiliki manusia. Bentuk impelementasi yang dimaksud di sini adalah bagaimana kebiasaan yang kita lakukan memang mencerminkan dari keilmuan yang kita miliki, menerapkan tekonologi yang kita miliki. Yap, itu yang bisa aku tangkap dari penjelasan dosenku. Hmm, (18 Desember 2012)

Goresan Pena #26

Hmmm, pagi ini, dari jam 07.30 sampai dengan 8 lebih dikit dapet kuliah yang super duper kereen abizzz. Dari dosen yang keren abiz pula, Pak Slamet Suyanto. Tentang “Esensi dari belajar Filsafat Ilmu”. Beliau menyampaikan bahwasanya dari terbentuknya alam semesta, maka muncullah kehidupan. Di dalam kehidupan ini, salah satu unsur yang ada di dalamnya adalah manusia yang baru diciptakan 1,5 juta tahun yang lalu. Kehadiran manusia untuk mempelajari kehidupan alam pada alanya dengan membuat mitos, yang kemudian berkembang menjadi ilmu pada masa Reinassence. Yap, masa setelah berlalunya abad kegelapan. (Sampai di sini, kemudian aku berpikir, merenungkan. Rada gak sepakat dengan pernyataan ilmu muncul pada masa Reinassance seperti yang tersebut di dalam sejarah. Masa reinassence adalah masa bersinarnya keilmuan yang ada di eropa. Padahal sebelum itu, ilmu juga sudah berkembang di masa kejayaan Islam. Jadi ilmu tidak serta merta baru pesat ketika masa Reinassance). Yap, lanjut! Setelah adanya masa kejayaan ilmu, muncullah satu fase revolusi industri, di mana pada fase ini merupakan masa pertanda kemunculan teknologi. Munculnya teknologi ini kemudian diiringi dengan terbentuknya kebudayaan. Kebudayaan kemudian berkembang menjadi peradaban. Adanya peradaban memunculkan modern society yang memiliki 11 universal values. Peradaban diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pendidikan. Adapun hakikat dari pendidikan itu sendiri sebenarnya adalah mengembalikan manusia ke alam,; agar manusia lebih bijak terhadap alam . Pendidikan semestinya mengembangkan nilai sustainability, harmony, kemakmuran, kelestarian. Wujud dari pendidikan dengan konsep tersebut adalah pendidikan STS, STSE, SETS, STEPWISE. Yap, mendengarkan penjelasan dari beliau, aku berdecak kagum. Subhanalloh, satu konsep yang begitu luar biasa. Aku suka, dan semoga bias turut menjadi bagian dari alur ini.  (18 Desember 2012)

Goresan pena #25

Hari ini aku belajar tentang satu hal. Pagi-pagi, motor kuhidupkan. Bersama dengan temanku, kami menuju ke sebuah tempat. Tempat yang memang biasa aku kunjungi setiap pagi. Apalagi kalau bukan pasar? Tempat di mana aku berbelanja; mencari barang-barang yang dibutuhkan untuk warung. Pagi ini, aku belanja tahu, kentang, sawi, cabai besar, cabai kecil, teri, kol, dan sedotan. Tahu seharga 3.000, kentang 8.000, sawi 1.000, cabai besar + cabai kecil 5.000, kol 5.000, teri 5.000, dan sedotan 5.000. Kuperoleh list belanja itu dari seorang yang begitu baik padaku, seseorang yang telah berjuang banyak untuk usaha warung yang aku jalani bersama teman-temanku. Namanya Mbak Aci. Kudapati sms itu kurang lebih sekitar pukul 06.00 pagi. Sekilas aku baca sms beliau, kemudian ketika kudapati pasar, segera ku menuju tempat-tempat penjual sesuai dengan apa yang tertulis dalam list belanja. Hmm, malangnya, karena ketidaktelitianku pada akhirnya aku salah membeli sedotan. Dalam list tertulis sedotan hijau untuk jus. Aku melihat sekilas ke sebuah kios di dalam pasar sedotan warna hijau. Aku pikir itu adalah sedotan yang aku maksud. Tapi ternyata salah. Yap, ketelitian. Membeli sesuatu perlu kembali mengecek apakah sesuai dengan yang kita maksudkan ataukah justru tidak. Hmm… (15 Desember 2012)

Goresan pena #24

“Berdakwah adalah pekerjaan paling keren di dunia.” Sebuah message yang sempat mampir di hpku. Hmm, subhanalloh.

Goresan Pena #23

Just do it. Don't think other. Focus. All will be finished. cheer me up :D (24 Desember 2012)

Goresan Pena #22

6 kebiasaan yang mendukung kegiatan menulis : membaca, ikut seminar, discuss, imajinasi, mengamati setiap peristiwa, blogging

hmm,, (23 Desember 2012) _Medianet

Goresan Pena #20

Bila yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukMu kan kujadikan Kau kenangan yang terindah dalam hidupku... (@Media net, 19.12.2012)

Goresan Pena #21

“Jika ada keajaiban dalam menulis cerita, dan aku percaya memang ada, tidak akan ada seorang pun yang mampu mereduksi itu semua menjadi sebuah rumus yang bisa disampaikan dari satu orang ke orang lainnya. Formula tersebut terlelap dalam hasrat sang penulis untuk menyampaikannya kepada pembaca. Jika penulis memiliki hasrat tersebut, terkadang ia, namun tidak selalu, akan menemukan jalan untuk melakukannya. Anda harus merasakan keunggulan yang akan membuat cerita bagus menjadi hebat atau kesalahan yang akan membuatnya jadi cerita yang buruk. Cerita yang buruk hanyalah cerita yang tidak efektif.” (John Steinbeck)

Hmm, mantap! Formula menulis itu ada pada dirimu sendiri :D (23 Desember 2012)

Goresan Pena #19

Tempat favorit, barisan terakhir, sudut kanan, grup tempat duduk sebelah barat, no. 2. Di sebuah ruangan 7 m x 5m. Tepat, di sebuah warnet. Sebut saja Media net. Tempat ini akan menajdi saksi bisu dari sepotong episode perjalanan hidup yang aku lalui. Sepotong episode untuk memulai kembali menjalani kebiasaanku yang sempat ter"cut" beberapa waktu yang lalu. Yap, tepat episode menulis . (13 Desember 2012)

Goresan pena #18

Masih pada kisah antara buku, aku, dan dia. Aku tak akan pernah bisa menebak apakah kelanjutan dari kisah ini. Sebuah buku yang memuat tulisanku dan tulisannya. Tulisannya yang mencerahkan. Dan tulisanku yang masih mengeluhkan semuanya. Hmm, be a romantic story (10 Desember 2012)

Goresan pena #17

Takut menyimpan nama di dalam hati. Karena ketika nama itu sudah tersimpan, sulit untuk terhapus. Entah kenapa. Apa karena aku melankolis, sehingga menjadi seperti ini. Hmm, apa hubungannya melankolis dengan sulit menghapus nama. Dan pada akhirnya, hatiku menjadi luka karena nama itu tak hanya tersimpan di dalam hatiku, tapi juga tersimpan di hati yang lain (10 Desember 2012, memory difficulterase)

Senin, 10 Desember 2012

Goresan Pena #16

Tentang sebuah rasa. Ia masih terpendam di lubuk hati. Tak nampak. Entah apakah dirinya pernah tahu, aku tak peduli. Aku memang ingin menjaga kesuciannya, tak ingin ia ternoda. Tapi, hatiku juga perih, melihat kenyataan yang terjadi. Bahwa dirinya tak pada diriku lagi. Seolah putus sudah. Padahal di hatiku masih tertinggal rasa itu. AKu mencoba untuk menjauh. Menjauh untuk kebaikan semuanya. Meredam rasa. Aku tak ingin penyakit-penyakit hati menjadi subur, tumbuh liar. Satu harapanku, semoga usai itu semuanya akan membaik, kembali seperti pada awalnya. Hmm, namun nampaknya tak sesuai harapan. Ia tak pada diriku lagi. memang sedih, tapi hendak diapakan lagi? Toh, aku tak berhak atasnya. Memang posisi dia apa? Dan pada akhirnya aku belajar tentang satu hal; kerelaan (10 Desember 2012, memory selasar lobi lab)

Goresan Pena #15

Hari ini aku belajar tentang kesabaran. Yap, bagi kami, anak semester tujuh, adalah masa-masa penantian. Termasuk diriku, saat ini. Yap hari ini, aku berencana bertemu dengan dosenku, yang nota bene beliau adalah kaprodi pendidikan Biologi. Panggil saja beliau, Pak Rahman. Setelah aku mendapat sebuah pesan singkat dari kawanku, yang berbunyi, “Fe, Pak Rahman udah ada di ruangan.” Segera aku bergegas menuju ke ruangan beliau. Kutapakkan kaki melintasi jalan dari kantin lab melewati perempatan MIPA hingga akhirnya sampailah aku di depan ruangan dosenku itu. Dan kuliht kawanku, sedang duduk di kursi batu panjang di bawah pohon depan ruangan beliau. Tak lama, berselang, aku dan kawanku kemudian memasuki ruangan beliau. Ku katakan kepada beliau, “Pak, mau meminta kepastian dari proposal yang sudah kami ajukan kemarin.” “Ya, sebentar ya.” Beliau kemudian mencari-cari proposal yang sudah kami kumpulkan ke beliau pekan lalu. Hmm, ternyata beliau belum sempat untuk mengoreksi proposal kami. Justru, proposal-proposal yang baru masuk yang sudah selesai beliau koreksi. Tapi, tak apalah, hikmahnya.. aku langsung dapat pembimbing. Dan pembimbingku adalah dosen yang memang aku inginkan. Yap, tapi sebelum sampai pada semua ini, kesabaranku diuji. Dari proses pengajuan proposal pertama yang ditolak, editing lagi. Konsultasi ke dosenku, Pak Tri. Meminta masukan dari beliau. Kembali merevisi. Mengajukan lagi. Kembali lagi harus direvisi. Dan pada akhirnya, all of them be a happy news for me today. (10 Desember 2012)

Goresan pena #14

"kimi no egao, boku no natsu ga hajimaru". Hmmm, sebuah kalimat yang ditulis temanku di wall fb. Huft, susah buat mengeja kata demi kata. Apalagi berniat buat ngapalin, kayaknya mustahil banget. Mbaca itu tulisan, dahiku berkerut, garuk-garuk kepala. Apalagi sampai tau artinya. Hmmm, pada akhirnya aku comment statusnya. "Itu artinya apa, Nay?." Yap, panggil saja temenku itu, Naya. Wow, ternyata artinya romantis banget. "Saat dia senyum itu hariku seakan-akan jadi lebih cerah". Aku hanya bisa tersenyum setelah aku tau artinya (10 Desember 2012, @Medianet)

Minggu, 09 Desember 2012

Goresan Pena #13

Lewat buku, antara aku dan dia. Hari ini. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Hari ini adalah sebuah cerita yang entah sudah masuk pada episode ke berapa... (09 Desember 2012)

Ya Alloh

Ketika tasbih bergulir lewat bibir
Meluapkan ungkapan syukur atas keagungan-Nya
Tubuh ini pun gemetar
Tak kuasa menahan air mata yang mengalir

Ya Allah, betapa besar kekuasaanMu
Ya Allah tapi besar pula dosaku
Ya Allah betapa banyak nikmat yang Engkau beri
Tapi Ya Allah betapa besar pula khilaf diri ini

Memory, 04 Agustus 2007

Seberkas Untaian Sanubari

Di lautan samudera
Ku tenggelam dalam hempasan ombaknya
Di atap bukit tinggi
Ku terjatuh jauh diterpa badai
Di hamparan padang
Ku terdiam dalam hembusan suara alang-alang
Di tepian jurang terjal
Ku berdiri tegap melihat panorama kelam di bawah sana
Pelan-pelan kurasakan semilir lembut bayu di sekelilingku
Raga ini terlena olehnya
Tak ada daya lagi dalam jiwa
Ku tersepak jatuh ke bawah masuk jurang lewati
batas alam dunia
TOLONG!!! Sia-sia rangkaian abjda itu kuserukan
Sepi, tak ada insan dalam gelap ini
Sendiri, yah aku benar-benar sendiri
Ku tutup perlahan kedua bola mataku
Ku rasakan untaian raga ini melayang
Ku berharap seberkas cahaya datang terangiku
Tapi semuanya itu hanya khayalan belaka
Aku benar-benar terjatuh

Senyum Sang Bintang

Bak bintang di kala senja
Sendiri berdiri
Cahya kerlip kuning kecil terpancar dari tubuhnya
Kian lama kian meredup
Tapi, itu hanya sesaat
Menit-menit berlalu
Hingga akhirnya
Cahaya itu pun kembali terpancar dari raga sang bintang
Kini,
Ia tak sendiri
Di kala senja berangsur lenyap
Hingga malam datang menjelang
Jutaan bintang datang menemani
Sembari tersenyum menatap indahnya bumi ini

Sebuah Pendakian Asa

Mendaki gunung
Lewati jurang terjal
Mengais jejak langkah pejuang
Berkobarkan semangat yang membara dalam dada
Beratap awan
Ingin kudaki puncak tertinggi
Berat, susah
Keluhan dalam diri
Terkadang terombang-ambing dalam asa
Lanjut ataukah berhenti?
Sungguh kebimbangan dalam diri
Teringat sebuah pesan berharga
Dari seorang bunda tercinta
Tidak........
Aku pasti bisa!
Terus melangkahkan kaki
Menembus waktu
Menjelajah impian
Mendaki puncak tertinggi
Demi sebuah cita-cita
15 FEBRUARI 2008


Memori Persahabatan

Tetesan air mata serasa ingin selalu meleleh
Lewat kelenjar air mataku
Menengok cermin kaca yang terpampang di belakangku

Bayangan teman-temanku dengan wajah ceria mereka
Diliputi kegelapan yang menyertai langkah kaki
Hingga tak kusangka butalah mereka

Jalan terjal mendaki tlah terlampaui
Tapi malang salah arah tak diindahkan
Hingga, kini mereka berubah

Aku,
Seorang insan yang senantiasa tegak berdiri
Hanya seperti batu membisu
Memori tentangku tlah terhapus dalam ingatan mereka

Aku,
Sendiri di sini
Menanti datangnya secerah senyum menaungi hati sobatku

Pengharapanku

Kurindukan secercah sinar lembut
Tuk terangi kelamnya hatiku
Tuk terangi gelapnya pandanganku
Tuk berikan sentuhan manis bagi hatiku
Tuk hilangkan kesedihan dalam diriku
Tuk berikan semangat agung bagi jiwaku
Tuk bantu diriku mewujudkan mimpi-mimpiku

Ku yakin sinar itu kan datang
Menghampiriku,
Menembus kelamnya jiwaku
Memberikanku secercah asa yang tiada terduga
Memberikan segenap keajaiban atas mimpi dan pengharapanku

13 November 2007

Sebuah Penantian

Layaknya sebatang tumbuhan yang layu
Kering, gersang
Akar-akar yang semakin merapuh
Lemah, tanpa daya
Begitu pun daun-daunnya
Yang berguguran setiap detiknya
Menorehkan nama cinta yang terselubung dalam hatiku
Kisah cintaku
Yang penuh penantian akan sebuah jawaban
Merana, pilu, termakan sang waktu
Sedih, tak ada kepastian
Hingga sang masa terus berjalan
Dan kini seakan diri ini rapuh, lemah
Tak ada lagi kekuatan dalam jiwa
Ingin rasanya melepaskan semuanya
Tapi terlanjur diri ini mengukir cinta dalam hati
Kini……….
Hanya torehan pena yang ada
Sebagai sebuah penantian
Yogyakarta, 19 Januari 2008


Memoriku

Pagi yang cerah
Semburat cahaya menerangi setiap atom-atom benda
Bersama iringan lagu burung yang berkicau
Cit, cit, cit dengan merdunya

Hijaunya rimbunan pohon
Dengan segarnya udara pagi
Dingin, menyejukkan mata
Menebarkan pesona alam nan elok

Kali urang….
Ahad pagi nan indah
Tersibak dari mendung kelam angkasa
Terlindung dari tetes hujan
Yang membasahi tanah bumi pertiwi

02 Desember 2007….
Penuh memori terekam dalam album pikiran
Satu malam bersama iringan deras hujan
Satu malam bersama canda tawa sahabat

Noktah Cinta

Warna-warni pelangi
Terhias di ufuk langit senja
Kilauan cahyanya membuka jalan
Di saat hati benar-benar kelam
Indah, begitu indah
Menentramkan, mengusik batin yang tertutup
1000 malam duka tangis menghampiri
Kini tlah sirna
Bersama datangnya cahya pelangi
Noktah yang menghias ujung satu hingga ujung lain
Saling melengkapi
Hingga luapan cinta benar-benar terungkap
Hati tersambut penuh gemerlap
Kilauan cahaya dengan noktah-noktah cinta

Moralitas

Ketika moralitas semakin tersangsikan
Ketika krisis akhlak semakin tergambarkan dengan jelas
Lihatlah….
Betapa buruk negeri ini
1 gedung, 2 gedung, bahkan ratusan gedung
Rumah, sekolah, pasar sekalipun

Sungguh betapa perihnya hati ini
Memandang panorama yang begitu menyakitkan
Sungguh sakit…..
Kenapa begini?
Kesadaran perlu ditegakkan
Jangan hanya diam
Sadarkah?

04 November 2007

Ketika

Ketika kumasuki sebuah ruang,
Gelap. Tak ada sinar menyambutku
Ketika kulewati sebuah gurun,
Sepi. Tak ada seberkas angin menunggu kehadiranku
Ketika kuberjalan di sebuah lorong,
Miris. Tak ada jalan keluar buatku
Semuanya gagal
Terngiang di kepala
Tak dapat kupetik dua buah bintang di langit senja
Untuk ayah bunda
Segalanya berakhir
Keputusasaan menambat
Aku benar-benar kehilangan jalan

Kebimbangan

Melangkah tanpa arah
Mengais jejak yang tak pasti
Sebuah asa yang tak kunjung berakhir
Sebuah kebimbangan yang merana dalam jiwa

Oh, Allah
Tak sanggup lagi diri ini untuk melangkah
Beban derit hidup ini sungguh berat

Oh, Allah
Mampukah diri ini menempanya?

15 Februari 2008

Halusinasiku

Terbayang wajah seorang perempuan berdiri
Membawa kebanggaan tersendiri
Gelar kesarjanaan telah diraihnya
Dan saat itu pun ia telah terwisuda
Terbayang wajah seorang perempuan berdiri
Membawa piala kejuaraan
Atas nilai perjuangan yang dilakukannya
Atas apa yang telah ia korbankan
Itulah impian yang selama ini kuharapkan
Terbayang pula wajah-wajah adikku
Ketiganya telah membawa kebahagiaan bagi orangtuaku
Mereka telah tunjukkan kepada dunia
Atas prestasi-prestasi mereka
Atas semua yang mereka usahakan
Tetapi,
Itu hanya sekejap
Itu hanya halusinasi
Halusinasi yang entah apakah akan terwujud
Dan tercipta?


Manusia, Khalifah fil Ardh

Sebuah fenomena, yang sudah biasa, bukan fenomena yang baru terdengar. Fenomena yang menjadi bahan obrolan setiap hari mungkin. Fenomena yang mewarnai keseharian, akrab dengan mata, terindera lewat penciuman. Fenomena yang kerap membuat hati miris, dan memaksa otak untuk berfikir mencari solusi, “Njur piye?”. Yupz, inilah fenomena lingkungan. Fenomena bagaimana jumlah emisi gas buangan di kota A, kota B, jumlah sampah di perairan A, banjir di kota D, kelaparan di desa E, kemiskinan, dan masih banyak yang lainnya.

Semua tahu, ini terjadi bukan karena kebetulan saja. Ada penyebab yang mendorong semua fenomena ada dan terasa. Semua tahu, apa yang menjadi penyebab. Demikianlah. “MANUSIA”. Itulah jawabannya. Memang, semua terjadi karena berakar dari manusia. Manusia sebagai pihak yang mestinya bertanggung jawab atas semua. Manusialah pun yang kemudian akan merasakan semuanya.

Sebuah peradaban yang terbangun dari peradaban sederhana hingga modern. Aktivitas manusia yang menjadi kunci perubahan peradaban. Yah, lagi-lagi manusia. Karena memang manusialah yang menjadi kunci utama penggenggam bumi seisinya. Peradaban yang semula hanya bertumpu pada aktivitas berburu dan meramu. Kemudian berkembang menjadi peradaban bercocok tanam. Sekian waktu kemudian, peradaban terus melaju dan berkembang lagi. Manusia menumpukan aktivitasnya pada industri dan teknologi dan pada akhirnya sampailah manusia pada peradaban saat ini.

Setiap peradaban memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. Pada masa berburu dan meramu, manusia hanya melakukan aktivitas mencari sumber daya yang ada di lingkungannya. Mengambil apa yang dibutuhkan sesuai dengan kadarnya. Akan tetapi, usai peradaban berburu dan meramu, maka peradaban bercocok tanam pun dimulai, alih fungsi lahan terjadi. Lahan yang semula ditumbuhi berbagai macam vegetasi, dialihfungsikan menjadi lahan-lahan pertanian yang produktif dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Seiring berjalannya waktu, lagi-lagi karena ketidak puasan manusia, maka lahan yang semula digunakan untuk bercocok tanam dialihfungsikan menjadi lahan industri. Mereka berfikiran, ketika manusia peradaban beranjak pada dunia industri, maka peradaban akan melanglang buana, menginjakkan pada titik kemajuan. Memang demikian, pada kenyataannya, industri membawa dunia baru pada titik teratas peradaban. Segalanya dapat terjangkau dengan mudah. Hasil industri dapat mencukupi kebutuhan mereka. Bahkan bisa terekspansi luas. Namun, apakah terpikirkan bagaimana setelahnya? Dan kenyataan saat inilah yang menjadi dampak peradaban industri yang ada.

Maka kesimpulannya, M A N U S I A, dan aktivitasnya itulah yang mengubah kondisi lingkungan hingga seperti sekarang ini. Alami menjadi buatan, tanpa memperhitungkan dan memperhatikan aspek keseimbangan ekosistem.

Tak heran jika pada dahulunya, ketika Adam, akan diutus ke dunia, maka para malaikat mengkhawatirkan keberadaan manusia yang justru akan membuat kerusakan. Sebenarnya, apabila manusia paham akan perannya di bumi ini, di alam ini, maka kerusakan-kerusakan tersebut tak akan terjadi. Karena sebenarnya peran manusia di muka bumi ini adalah sebagai khalifah di muka bumi. Peranan sebagai khalifah adalah peran untuk memakmurkan bumi dengan mengolah, mengelola alam, mengatur alam. Bukan peran untuk senantiasa mengeksploitasi, mengeruk, dan memanfaatkan sebanyak-banyaknya tanpa perhitungan, tanpa memikirkan generasi masa depan-anak-anak dan cucu mereka. Terus mengeruk sumber daya yang ada, demi memenuhi kebutuhan mereka, menuruti nafsu mereka.

Wahai M A N U S I A, bangun dan sadarlah! Lihatlah sekelilingmu, akankah dirimu hanya terdiam melihat semuanya menjerit? Menatap semuanya menangis? Duhai para pemilik nurani, gunakanlah nuranimu, tajamkan mata hatimu. Pekakanlah pikiranmu... Mari bergerak bersama, tuk melihat semuanya tersenyum kembali. Menatap mesra wajah-wajah mereka... Wallohu’alam bisshowab.

Goresan pena #12

goresan yang sempat terputus

Sebuah pesan lewat picture yang diwallkan oleh temenku di fbku. Di sana tertulis kalimat yang begitu menginspirasi. Betapa tidak? Kalimat-kalimat itu mewakili apa yang aku rasakan saat ini. Tentang hakikat ujian. Begini bunyi kalimat itu,

“Taukah kita? Ketika Alloh rindu pada hambaNya, maka Alloh akan mengirimkan sebuah hadiah istimewa melalui malaikat Jibril yang isinya ujian. Dalam hadits Qudsi Alloh berfirman : Pergilah pada hambaKu lalu limpahkanlah berbagai ujian padanya karena Aku ingin mendengar rintihannya (HR. Thabrani dari Abu Umamah).”

Yap, ujian. Yang sunnatullohnya sebagai manusia, ia pasti merasakan. Pun denganku saat ini. Ujian tentang ukhuwah. Tentang membangun ukhuwah, tentang saling memahami, tentang perbedaan karakter, tentang adab menasihati, tentang rasa sungkan untuk menasihati, tentang benteng hati, tentang keegoisan, tentang sensitivitas, tentang komitmen, tentang kepercayaan, tentang hati.

Entah kenapa semua ini terjadi? Tapi aku yakin ini adalah bagian dari skenario Alloh untukku dan untuknya. Aku memang manusia yang tak luput dari salah, sehingga karena kesalahanku semua jadi seperti ini. Berawal dari rasa sungkanku, kemudian menjadi bertumpuk kepada kemarahan; meluap karena emosi, khilaf, lupa akan adab nasihat menasihati, dan seolah sekarang menjadi terputus. Berakhir tragis. Ya Alloh, aku tak bermaksud untuk memutuskan semua ini. Aku sudah berupaya untuk meminta maaf, mencoba mengalah, tapi entahlah, aku tak tahu apa yang ada di dalam hati saudaraku, aku tak mengerti apa yang dia inginkan. Aku tak tau dengan semuanya, seolah memang benteng itu masih kokoh padanya. Aku sudah mencoba mengutarakannya, tapi ia terdiam. Aku tak mengerti ya Alloh.

Aku memang melankolis. Aku lebih sering menumpahkan air mata. Jarang aku bisa menahannya. Termasuk dalam permasalahan ini. Aku lebih sering menangis di depannya. Sedangkan ia, ia tetap dengan wajah tegar. Tak ada tetesan air mata. Ya, memang karena kita berdua berbeda. Ia lebih bisa menahan semuanya. Ia pernah bilang padaku, “Cukuplah menangis ketika kita berdua dengan Alloh.”

Aku sensistif, takut untuk melukai hati saudaraku, sehingga terlalu sering rasa sungkan hadir untuk menasihatinya. Entah, kenapa. Padahal rasa sungkan yang hadir untuk mengingatkan, meluruskan apa yang tak lurus adalah bisa jadi sebagai benteng ukhuwah. Yap, mungkinlah itu yang terjadi, sehingga seolah ukhuwah yang terbangun antara aku dan dia, semacam tak ada keterbukaan.

Aku cukup blajar banyak dengan semua ini. Memang aku pernah mengeluh, “Kenapa pada akhirnya bisa seperti ini ketika aku menjadi sahabat dekatnya?” Tapi yap, aku yakin di balik semua ini akan ada hikmah besar. Aku memang belum bisa menjadi saudara yang baik baginya. Aku sadar itu! Dan semoga apa yang terjadi padaku semua ini akan menjadi pelajaran ketika aku akan membangun ukhuwah dengan saudaraku yang lain.

Tapi, aku tak ingin kehilangan dirinya ya Alloh. Aku tak bermaksud memutuskannya. Semoga semua akan mereda pada waktunya. Dan akan berakhir indah pada masanya. Aku rindu ingin memeluknya; memeluk seerat-eratnya, karena aku adalah sahabatnya. Ya Alloh, aku yakin Engkau tahu itu.

Hanya doa yang terlantun: Semoga kelak ia akan terbuka dengan semua ini. Semoga ia akan selalu bahagia dengan keputusan yang ia ambil saat ini, meskipun keputusan yang ia ambil adalah mengeluarkan namaku pada list contact hidupnya; karena ia ingin menjadi orang yang minimalis.

Memberi tanpa mengharap apapun dari seseorang. Inilah yang disebut keikhlasan. Tetaplah baik dengan saudaramu meskipun ia tak pernah menganggap kau ada. Tak perlu kemudian ia memberikan balasan atas apa yang kau lakukan untuknya. Cukuplah Alloh yang melihat, pun RasulNya. Itulah langkah terakhir yang bisa aku lakukan ketika aku benar-benar mencintaiNya karena Alloh; mencintai saudaraku. Karena aku masih ingin berukhuwah dengannya.

Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini telah berpadu berhimpun dalam naungan cintaMu. Bertemu dalam ketaatan bersatu dalam perjuangan menegakkan syariat dalam kehidupan. Kuatkanlah ikatannya kekalkanlah cintanya tunjukilah jalan2nya terangilah dengan cahyaMu yang tiada pernah padam ya Rabbi bimbinglah kami. Lapangkanlah dada kami dengan karunia iman dan indahnya tawakkal padaMu hidupkan dengan ma’rifatMu matikanlah dalam syahid di jalanMu. Engkaulah pelindung dan pembela (Rabithah) #09 Desember 2012

Sabtu, 08 Desember 2012

Goresan pena #11

Hari ini aku diamanahi untuk menjadi tim sunduq. Tim sunduq itu adalah tim yang membawa kotak donasi untuk mengumpulkan infaq. Berangkat dari kos sekitar jam 12 siang. Yap, menuju gedung DPRD DIY di daerah Malioboro. Aku berangkat bersama saudaraku, Nisa.

Bagiku, hari ini adalah hari yang luar biasa. Kenapakah? Hmm, berangkat dengan membawa kotak amal, yang kemudian kuedarkan ke sesiapa saja yang ada di lokasi kami aksi. Kuedarkan kotak amal ke sepanjang jalanan Malioboro sisi barat. Simbah, Bapak, Ibu, Mas, Mbak, Adek-adek, menjadi sasaranku. Dari tukang becak, pedagang kaki lima, hingga orang-orang yang hilir mudik belanja di daerah Malioboro. “Infaq Palestin, Pak”. “Infaq palestine, Bu, Mas, Mbak, Simbah, Adek.”

Kulihat ekspresi dan raut muka dari setiap orang yang aku sodori kotak infaq. Ada yang memberikan kode; menggelengkan kepala dan menggerakan tangan ke kanan ke kiri. Yap, tanda tak berkenan disertai dengan ungkapan maaf. “Maaf Mbak belum narik,” begitu yang beberapa kali diucapkan oleh bapak tukang becak. “Nggak, Mbak.” Aku hanya tersenyum dan membalas terima kasih. Tapi, pun tak semua melakukan penolakan. Setelah berkeliling ke sana ke mari, kotak infaq mulai terisi. 1000, 2000, 3000, 5000, 10.000, 20.000, 50.0000, 100.000, 150.000. Yap beragam jumlah donasi yang masuk ke dalam kotak infaq. Alhamdulillah.

“Semoga bisa membantu saudara di Palestina ya Mbak,” ucap seorang bapak tukang becak. “Aamiin, Bapak. Terima kasih,” balasku. Subhanalloh, sebuah niat yang tulus seorang bapak tukang becak. Ingin membantu saudara di Palestina. Yap, meskipun aku tau, jumlah yang beliau berikan tak seberapa. Tapi, begitu luar biasa. Seorang bapak tukang becak, di antara sekian banyak tukang becak yang lain yang menolak untuk menyisihkan uangnya, beliau berkenan untuk mengambil sedikit uang yang beliau punya dari kantong sakunya.

Hari ini, aku belajar banyak. Salah satunya adalah pelajaran tentang memberi. Hmm, bahwa memang tak semua orang bisa langsung tergerak hatinya untuk mau memberi. Yap, dalam hal ini memberi, menyisihkan uang untuk saudara yang ada di Palestina. Entah karena mereka belum tau tentang kondisi Palestin, entah karena kondisi keuangan yang masih limit, atau faktor yang lain.

Aku jadi teringat apa yang telah Alloh sampaikan dalam surat Al Baqoroh : 261. “Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Alloh seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji.” Hmm, bisa jadi belum semua orang tau tentang hal ini. Bahwasanya memberi tidak akan merugi, bahkan akan mendatangkan kebaikan, balasan, yang berlipat-lipat. (18 November 2012)

Goresan pena #10

Hari ini. Luar biasa! Ikut serta aksi #Save Palestine. Di suasana siang yang tak begitu terik, yah, alhamdulillah. Alloh mendatangkan mendung, kemudian rintik-rintik hujan. Di saat Alloh menurunkan berkahnya, semakin memantapkan langkah kami untuk menyuarakan suara “Palestina, palestina. Selamatkan! Israel, Israel, hancurkan!” Bermodal bendera Palestine, bendera merah putih, rountext, kotak Infaq palestina, kami berangkat dari gedung DPRD DIY, di daerah sekitar Malioboro. Ratusan pasang kaki melangkah, perlahan meninggalkan gedung itu menuju titik 0 km, daerah kantor Pos Besar. Dari arah Malioboro lurus ke selatan, hingga perempatan bangjo. Semangat menggebu, lantang berteriak, “Palestina, palestina. Selamatkan! Israel, Israel, hancurkan!”

Sebuah kejadian tak manusiawi yang telah dilakukan oleh zionis Israel. Melakukan pengeboman kepada saudara kami, saudara seaqidah, saudara di Palestina. Hingga sekitar 37 orang syahid, bahkan anaka-anka kecil Palestina pun demikian. Ratusan saudara yang lain luka-luka. “Ya Alloh, begitu miris. Apa salah mereka, sehingga mereka diperlakukan demikian adanya?,” teriakku dalam hati. Aku tak bisa terima, semua ini bukan salah saudara-saudara kami di Palestina. Ini semua yang memulai bukan mereka. Israel, laknatullah yang menjadi biang semuanya.

Seperti inilah yang bisa kami lakukan. Membawa rountext, bendera palestin, meneriakkan yel-yel, menyuarakan apa yang kami rasakan terhadap saudara kami di sana, mengumpulkan donasi. Yah, ini yang bisa kami lakukan. Kami tak bisa melangkah ke sana, melangkah ke bumi palestin, membantu melempar batu, roket, dan semacamnya. Aku pernah mendengar cerita dari seseorang, bahwa sebenernya apa yang saat ini dilakukan oleh kaum muslimin di Indonesia, dengan melakukan aksi-aksi, mengumpulkan donasi, itu bahkan di saksikan oleh saudara-saudara di palestin sana. Bahkan hal kecil yang kami lakukan di sini, pun menjadi spirit berharga bagi saudara kami yang ada di Palestina.

Aku bergumam dalam hati, “Ya Alloh, perjuangan kami di sini tak seberapa. Bahkan itu telah menjadi kekuatan bagi saudara yang ada di palestin. Subhanalloh!” Sebenarnya aku pun malu pada diriku sendiri. Bagiku, apa yang aku lakukan untuk saudaraku di Palestin sana, begitu kecil, tak seberapa. Hanya doa yang senantiasa terucap. Hmm, infaq pun... tak seberapa. “Ya Alloh, aku malu!”Aku hanya bisa berdoa, semoga apa yang aku lakukan untuk saudaraku di palestin sana, meskipun hanya kecil, akan senantiasa diistiqomahkan oleh Alloh. (18 November 2012)

Goresan Pena #9

“Menyeka air mata. Biarkanlah menetes sempurna. Itu adalah kebahagiaan yang selama ini dicari bukan? Yang tak akan pernah didapat di tempat lain”. Sebuah pesan singkat yang saudaraku kirimkan. Sebuah perenungan. Bahwa sejatinya air mata yang jatuh karena mengingatNya, itulah sesuatu yang dicari. Bagaimana pun caranya. Bisa merasakan kedekatan dengan Nya, bisa merasakan kehadiranNya, melihat keagunganNya, melihat bagaimana Ia memberikan kehidupan bagi hambaNya. Begitulah. Sebuah perjalanan yang sejatinya ingin menemukan hakikat kehidupan.

Yap, tepat tanggal 9-12 November kemarin, kubulatkan tekadku untuk menjelajah bumi di sisi yang lain. Sebuah kota besar, ibu kota negara yang saat ini aku tempati, Jakarta! Sebuah kota yang sebenarnya banyak menyimpan misteri. Dan kudapati banyak hal yang sedikit berbeda dengan yang aku lihat selama ini. Memang, Ia punya segala macam cara untuk memberikan kehidupan, menebarkan kasih sayang dan rahmatNya. Termasuk di sini! Aku belajar banyak. Alhamdulillah... (17 November 2012)

Goresan Pena #8

Jangan pernah merasa bahwa hidup berhenti karena kondisi yang sulit. Kehidupan bercahaya bisa kita ciptakan jika hati, pikiran, dan energi kita mau bergerak dalam semangat yang positif (sang burung biru). Aku baru mengutak atik hpku dengan mengirim beberapa sms balasan. Tak berapa lama kemudian, hpku bergetar. Yap, tanda sms masuk. Kubuka sms itu. Oh, dari dek Desi. Dan kudapati pesan itu. Ketika aku baca, hmm, pas dengan suasana hatiku. Yap, Alloh memang tau banget kondisi hambaNya, termasuk kondisiku saat ini. Di saat kondisi yang seperti ini, Alloh kemudian mengingatkanku melalui sms yang dikirim dek Desi. Yap, aku pasti bisa melalui semua kondisi ini. Membuat kehidupanku bercahaya, bukan merasa bahwa hidupku harus berhenti pada kondisi yang sulit. Bis yang aku tumpangi terus melaju. Melaju, setelah melewati Pamanukan. Kuhela nafas sejenak sambil memandangi nuansa malam bersama melajunya bis yang aku tumpangi. Kuyakinkan sekali lagi pada diriku. Aku pasti bisa membuat semuanya lebih baik. Bismillah. #Memori bersama bis Ramayana, 12 November 2012

Goresan pena #7

Pertama kali ini aku menaiki bis Trans Jakarta. Yak, pada akhirnya aku bisa memandangi panorama Jakarta. Panorama yang selama ini hanya aku bisa saksikan lewat televisi, koran, googling di internet. Trans Jakarta, mirip dengan bis yang ada di Jogja. Trans Jogja. Aku melewati berbagai macam halte. Halte Semanggi, Halte Grogol, hingga halte ....

Ada satu pemandangan berbeda. Antara Trans Jogja dan Trans Jakarta. Ku baca satu papan bertulisan di depanku. Ruangan Khusus Wanita. Hmm, aku berdecak kagum dalam hati. Subhanalloh ya wanita memang spesial. Bahkan di dalam bis pun ada ruangan yang khusus disediakan untuk wanita. Aku tolehkan kepada perempuan yang ada di seberangku. Aku pikir dia seumuran denganku. Anak kuliah. Tapi ternyata dia masih SMA. Aku tanyakan padanya. Hmm, kenapakah harus ada ruangan spesial buat wanita di dalam bis ini. Setelah aku tau, oh, rupanya begitu. Jadi memang beberapa waktu yang lalu sempat terjadi kasus pelecehan wanita di dalam bis Trans Jakarta. Sehingga, kemudian ada kebijakan seperti ini. Aku hanya berkata dalam hati, “Baguslah, memang harusnya demikian!” Dan ucap syukur dalam batinku. “Alhamdulillah!” (11 November 2012)